Judul asli : Syarḥ al-’Aqâid an-Nasafiyyah
Penulis : Imam at-Taftazani
Penerjemah : Husni Nasution
Genre : Akidah
Halaman : 384
Ukuran : 14 x 21 cm
Cover : Soft cover
ISBN : 978-623-8661-13-8
E-ISBN : 978-623-8661-14-5
Penerbit : Turos Pustaka
Cetakan : 1, April 2025
Harga : Rp99.000,-
BACK COVER
Apakah akal sanggup menyingkap hakikat Tuhan?
Benarkah manusia sepenuhnya bebas menentukan jalannya sendiri?
Bagaimana Ahlusunnah wal Jama’ah menjembatani wahyu dan logika?
Pertanyaan-pertanyaan ini bukan sekadar wacana kosong. Ia telah menjadi denyut yang menggerakkan perdebatan intelektual Islam selama berabad-abad. Di tangan Imam at-Taftazani (1322—1390 M), persoalan itu tak sekadar diurai, tetapi digugat, ditelaah ulang, ditentukan garis batasnya. Pengantar Akidah Maturidiyah, terjemahan dari Syarah al-’Aqaid an-Nasafiyyah, bukan sekadar buku teologi, ia merupakan peta yang menuntun kita menyusuri simpang-jalur pemikiran ilmu kalam. Di sini, iman tak hanya diterima begitu saja. Ia diuji dengan akal, ditimbang dengan dalil, dipertemukan dengan filsafat. Teologi Maturidiyah tak menolak nalar, tetapi juga tak menempatkannya sebagai hakim tertinggi. Ia memadukan wahyu dan logika dalam rekat harmoni. Jika kita kerap bertanya tentang hakikat keimanan, tentang batas-batas akal, tentang bagaimana manusia memahami Tuhan tanpa salah arah, buku ini tak sekadar memberikan jawaban, tetapi mengajak kita menelusuri pertanyaan-pertanyaan itu secara lebih jernih dan mendalam. Sebab, keimanan yang kokoh selalu lahir dari pemahaman yang diuji secara
ketat.
SINOPSIS
Di tengah dinamika intelektual abad ke-14, Imam at-Taftazani menyusun Syarḥ al-’Aqâid an-Nasafiyyah, sebuah komentar mendalam atas al-’Aqâid an-Nasafiyyah karya Imam an-Nasafi, teolog Mazhab Maturidiyah. Karya ini bukan hanya penjelasan, melainkan sintesis brilian antara tradisi Maturidiyah yang rasional dengan corak Asy’ariyah yang tekstual, sekaligus benteng argumen melawan aliran filsafat dan teologi yang dianggap menyimpang.
Imam at-Taftazani membuka pembahasannya dengan tauhid, menguraikan sifat-sifat Allah dengan ketelitian logis. Ia membagi sifat Ilahi menjadi dzâtiyah dan fi’liyah sambil menolak keras antropomorfisme—menegaskan transendensi mutlak Allah. Di sini, ia berpolemik dengan Mu’tazilah yang membatasi kehendak Allah melalui konsep “keadilan” manusiawi, seraya menekankan kekuasaan-Nya yang absolut atas takdir. Namun, ia tak terjebak dalam determinisme; melalui konsep kasb (usaha manusia), ia merajut harmoni antara kuasa ilahi dan kebebasan terbatas manusia, layaknya tarian metafisik antara takdir dan ikhtiar. Melangkah ke ranah kenabian, Imam at-Taftazani memaparkan mukjizat sebagai bukti tak terbantahkan kebenaran Nabi Muhammad. Ia menegaskan kemurnian para nabi dari dosa (maksum) dan menutup pintu kenabian setelah Rasulullah (khatam an-nubuwwah), seraya menepis klaim kelompok sempalan. Narasinya dipenuhi kebanggaan akan Islam sebagai agama final, dengan syariat yang sempurna dan universal.
Ketika membahas hari akhir, ia tak hanya menggambarkan surga-neraka secara imajinatif, tetapi juga membangun argumentasi rasional tentang kebangkitan jasmani. Dengan analogi kuasa Allah yang mencipta dari ketiadaan, ia menjawab skeptisisme filsuf yang meragukan kebangkitan tubuh hancur. Timbangan amal (mîzân) dan jembatan di atas neraka (shirâth) ia
jelaskan sebagai simbol keadilan ilahi, bukan sekadar alegori. Pada puncaknya, Imam at-Taftazani menyentuh hakikat iman. Baginya, iman ialah
pembenaran hati dan pengakuan lisan—tanpa mensyaratkan kesempurnaan amal. Di sini, ia bersitegang dengan Khawarij yang menyempitkan iman pada ritual, atau Mu’tazilah yang mengaitkannya dengan moralitas. Baginya, pelaku dosa besar tetap muslim selama tak mengingkari hukum Allah (istiḥlâl), sebuah prinsip inklusivitas yang menjadi jiwa Ahlusunnah.
Reviews
There are no reviews yet.